Kamis, 28 April 2011

Memahami Pasar Rumah Sakit

Bagi kebanyakan masyarakat awam Rumah Sakit (RS) merupakan penyedia layanan yang terkenal dengan kelengkapan prakter dokter, layanan 24 jam gawat darurat, dan juga layanan rawat inap. Keberadaan RS bertumbuh seiring dengan meningkatnya populasi. Dari sisi jumlah secara nasional mungkin perlu juga dibandingkan dengan keberadaan mall / pusat perbelanjaan terutama untuk di kota besar.

RS biasanya terdiri dari layanan: Praktek Dokter (rawat jalan), Instalasi Farmasi / Apotek, Ruang Rawat Inap, Laboratorium, Ruang Bedah, Kamar Otopsi dan Mayat, Layanan ASKES, dan Layanan Gawat Darurat 24 jam. Dengan kata lain RS sebenarnya merupakan salah satu bentuk pasar, tempat bertemunya antara penyedia dengan konsumen. Yang ditawarkan juga mulai dari produk / obat dan tentunya jasa / layanan. Produk dan layanan yang tersedia pastinya yang terkait dengan kesehatan, namun saat ini RS besar sudah mulai meninggalkan konsep tradisional. Tujuannya tidak membuat RS sebagai sarana yang mengerikan. Sehingga wajar jika sekarang ditemui RS yang menyediakan kafetaria yang bagus, mini market, dan bahkan tempat bermain.

Sebagai penyedia layanan kesehatan, RS berada dalam fungsi ganda yang mungkin bertolak belakang yaitu antara misi untuk memberikan kesehatan namun juga tetap mendapatkan keuntungan. Namun sebagaimana industri kebanyakan, tiap RS pastinya memiliki misi untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Jika tidak ingin dicap mahal oleh konsumen, maka RS harus kerja keras menekan biaya pembelian dan investasi. Sehingga marjin keuntungan yang diperoleh tetap besar.
Proses Pengadaan

RS bekerja seperti halnya retailer sejenis Alfamart, Carrefour, dan sebagainya. RS memiliki bagian Pembelian sebagai pusat dari segala macam pengadaan kebutuhan RS. Kebanyakan RS, mungkin sekitar 95% RS menerapkan apa yang dinamakan dengan standarisasi.

Walaupun memiliki fasilitas yang lengkap, tidak berarti tiap RS menyediakan berbagai macam merek untuk jenis terapi yang sama. Standarisasi adalah sebagai bentuk penyederhanaan jenis produk yang tersedia di RS. Maklum saja, saat ini untuk terapi yang sama obat yang tersedia di pasaran bisa mencapai puluhan bahkan ratusan merek. Sehingga untuk menghindari stok obat yang tidak terpakai, penyediaan merek-nya pun dibatasi. Dengan demikian RS bisa tetap dengan baik melayani pasien namun dengan pengelolaan stok obat yang lebih efisien.

Jika carrefour berusaha menyediakan beragam merek dengan lengkap, namun RS tidak demikian. Contoh untuk retailer-nya convenient store seperti Circle K yang hanya menyediakan satu atau dua jenis merek saja untuk tiap jenis produk. Standarisasi juga dikenal dengan istilah Formularium. Penetapan produk-produk yang ada di RS berdasarkan komite medik yang terdiri dari pengurus RS dan dokter-dokter yang tergabung di dalamnya.

Standarisasi ini memiliki periode untuk dilakukan review, tujuannya jika ada masalah dengan suatu merek produk maka bisa diganti dengan merek yang lain. Dengan adanya sistem seperti inilah, para produsen obat berlomba-lomba untuk menarik perhatian dari para komite medik. Pertimbangannya bermacam-macam, mulai dari harga, kualitas produk, citra pabrikan, dan juga service level. Tidak semua produsen obat bisa menempatkan produknya di RS tersebut.

Jika Carrefour dikenal dengan istilah Listing Fee, dimana produsen membayar sejumlah biaya agar produknya dapat dijual di Carrefour, namun berbeda dengan RS. Standarisasi hingga saat ini belum memiliki biaya yang dibebankan kepada tiap produsen obat. Standarisasi juga menjadi pertimbangan bagi RS untuk mencoba berganti-ganti merek untuk melihat khasiat dari tiap produk. Walaupun pergantian itu tidak terlalu sering.
Praktek “Lain”

Sayangnya sistem yang demikian rapi dan bertujuan baik di tiap RS seringkali disalahgunakan oleh oknum-oknum yang hanya mementingkan dirinya sendiri ataupun kelompoknya. Apa yang seharusnya tidak ada, menjadi ada. Kerugian bisa muncul tidak hanya bagi RS tapi juga pasien itu sendiri.

Banyaknya produsen yang memaksakan agar produknya masuk dalam standarisasi mengakibatkan jumlah stok di gudang RS seringkali berlebihan. Jika tidak diantisipasi dapat berakibat pada kerugian karena produk tidak bisa diretur. Kerugian lain, bisa jadi ada dokter yang memaksakan untuk meresepkan produk yang tidak perlu tadi kepada pasien karena adanya titipan dari manajemen bahwa masih ada stok yang menumpuk.

Ada juga yang menerapkan sistem kontrak, penyalur memberikan sejumlah uang tertentu sebagai bentuk pengikatan kepada RS. Dengan kesepakatan tersebut, RS diminta untuk melakukan pengambilan terlepas ada kebutuhan atau tidak dari pasien. RS tersebut juga sudah diberi target untuk pengambilan sejumlah sekian dalam setahun. Uang yang diberikan dari penyalur ini ada yang memang masuk ke dalam kas RS, namun juga tidak sedikit yang masuk ke kantong-kantong pribadi dari oknum-oknum di RS maupun penyalur. Praktek ini sarat dengan korupsi, terutama untuk RS yang didanai dari Pemerintah.

Pasien lagi yang dirugikan, mengkonsumsi obat yang seharusnya tidak perlu dikonsumsi. RS juga rugi, karena stok menjadi penuh akibat aktivitas pemaksaan dari produsen dan penyalur. Maklum saja, sistem kontrak ini sering digunakan sebagai jalan pintas bagi penyalur. Dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu di RS. RS yang seharusnya bisa menikmati harga lebih murah, terpaksa harus membayar lebih mahal dan selisih harga tersebut justru jatuh pada oknum.
Masih ada Harapan

Dengan gencarnya semangat anti korupsi saat ini, harusnya membuat sadar bagi para pelaku bisnis baik di sektor pemerintah maupun swasta untuk menjalankan bisnis secara sehat. Uang yang tidak halal tersebut tentunya juga tidak akan memberikan kebaikan bagi siapapun.

Jika perlu, sebaiknya dilegalkan saja biaya untuk kontrak tersebut. Sehingga tidak masuk ke kantong pribadi. Manajemen RS pun harus secara ketat mengawasi pergerakan stok yang ada di gudang. Jika ditemukan adanya transaksi yang tidak lazim, maka perlu ada tindakan. Tidak ada kebanggaan pula untuk mendapatkan bisnis dengan cara yang tidak fair tersebut.

Pasar RS menyimpan potensi yang besar sebagai tempat pertemuan penjual dan pembeli. Sudah waktunya RS di Indonesia menikmati layanan kelas dunia dari distribusi obat, alat kesehatan, dan juga fasilitasnya.

Kompetisi Bisnis Rumah Sakit

WALAUPUN rasanya kurang pantas dikatakan Bisnis "Orang Sakit", namun kenyataan yang ada adalah rumah sakit yang memiliki bidang utama pelayanan terhadap orang sakit menjadi sebuah bisnis yang memiliki pertumbuhan cukup pesat dan menguntungkan.

Perkembangan industri rumah sakit swasta telah mengalami perkembangan yang cukup berarti, terutama beberapa tahun belakangan ini. Hal ini terlihat dengan bermunculannya rumah sakit swasta di negeri ini baik rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus. Jumlah rumah sakit di Indonesia pada tahun 2008 adalah sebanyak 1.320 rumah sakit, dimana 657 di antaranya adalah rumah sakit milik swasta. (Depkes, 2009).

Pertumbuhan rumah sakit swasta ini di tahun-tahun mendatang akan semakin pesat, apalagi berdasarkan Keputusan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi No.111 tahun 2007 yang menyatakan bahwa investor asing bisa menguasai 67 persen kepemilikan.

Kebutuhan rumah sakit berdasarkan rasio tempat tidur rumah sakit dibandingkan dengan jumlah peduduk masih sangat rendah. Artinya bisnis rumah sakit ini adalah bisnis yang menggiurkan bagi para pelaku bisnis. Modal yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah rumah sakit tidaklah kecil, nilai investasi bisa mencapai miliaran rupiah, terutama rumah sakit yang memiliki segmentasi sosial ekonomi kelas menengah ke atas dan secara geografis berada di kota besar.

Dengan entitas sebuah bisnis, maka mekanisme pasarpun berlaku dan dengan nilai investasi yang tidak sedikit maka kompetisi pun menjadi tak terelakan, agar rumah sakit masih bisa tetap hidup dan berkembang. Namun kemana arah kompetisi bisnis ini?

Sedikitnya ada tiga unsur yang terlibat dalam bisnis rumah sakit yakni penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit), pasien sebagai penerima pelayanan dan pihak ketiga yang secara tidak langsung terlibat yakni asuransi kesehatan atau perusahaan lainnya, dan pemerintah.

Dalam menghadapi kompetisi saat ini, rumah sakit melakukan investasi berupa alat-alat yang canggih, namun sangat disayangkan karena tidak adanya regulasi yang jelas, dalam satu kota bisa terdapat beberapa jenis alat canggih yang sama yang dimiliki setiap rumah sakit, padahal mungkin kebutuhannya tidak sebesar itu.

Hal tersebut bisa berdampak pada mahalnya tarif yang dikenakan, karena rumah sakit harus menghitung pengembalian investasi, atau yang lebih berbahaya adalah penggunaan alat yang tidak seharusnya pada pasien untuk mengejar pengembalian investasi.

Pada umumnya rumah sakit masih menerapkan pola tarif berdasarkan fee for service, hal ini seringkali dikeluhkan oleh pasien yang tidak dapat mengetahui secara pasti biaya yang harus dikeluarkan ketika berada di rumah sakit.

Pola pentarifan prospective payment masih dianggap kurang bisa diterapkan oleh rumah sakit swasta, padahal metode tersebut dapat menjadi salah satu strategi dalam peningkatan mutu dan penurunan biaya. Bahkan pada umumnya rumah sakit masih menerapkan pola tarif operasi mengikuti kelas perawatan, yang disegmentasikan berdasarkan kemampuan bayar pasien.

Ruangan rawat inap pun hampir seluruhnya dinamai berdasarkan strata kelas, yang juga dianggap menunjukan kemampuan bayar pasien.

Perilaku dari konsumen atau pasien juga sangat mempengaruhi kompetisi ini.Saat ini sistem rujukan sepertinya sudah mulai melemah, pasien terutama kelas menengah dan atas, selalu lebih puas jika langsung bertemu dengan dokter spesialis. Bahkan saat ini rumah sakit juga berkompetisi secara tidak langsung dengan praktek swasta dokter spesialis.

Pasien yang sepenuhnya dijamin oleh asuransi atau dijamin oleh perusahaan tempatnya bekerja memiliki kecenderungan menghabiskan biaya yang lebih besar. Hal ini juga ditangkap oleh rumah sakit sebagai salah satu target captive market-nya. Rumah sakit berlomba-lomba bekerja sama dengan perusahaan dan asuransi bahkan dengan menawarkan tarif yang lebih rendah.

Pada akhirnya rumah sakit sebagai sebuah bisnis boleh berlomba-lomba menyasar segmen sosial ekonomi kelas menengah atas dan di kota besar, namun jangan dilupakan bahwa rumah sakit pada dasarnya memiliki azas pemerataan. Rumah Sakit boleh memiliki strategi pentarifan sebagai sebuah bisnis dan mengikuti mekanisme pasar namun jangan dilupakan rumah sakit memiliki azas persamaan hak dan antidiskriminasi.

Rumah sakit harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi namun jangan dilupakan rumah sakit memiliki asas nilai etika dan profesionalitas, nilai perlindungan dan keselamatan pasien yang menjadi tanggung jawab rumah sakit dan dokter.

Karena itu Rumah sakit bukan bisnis biasa tapi bisnis yang luar biasa, yang pemilik dan semua orang yang di dalamnya tidak cukup hanya memiliki modal keuangan yang besar, keilmuan yang tinggi namun yang paling penting adalah modal hati yang mau melayani bagi sesama. Sehingga kompetisi yang seharusnya terjadi antarrumah sakit bukanlah kompetisi melawan rumah sakit satu sama lain, bahkan yang lebih baik adalah co-operation.

Kompetisi yang sebenarnya adalah bagaimana memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna, bermutu, efisien, terdepan dalam ilmu kedokteran, dan bisa menyentuh hati para pasien.(*)

Pemasaran Pelayanan Kesehatan

selama ini orang - orang seperti terkondisikan bahwa RS adalah sebuah tempat pelayanan kesehatan yang berlandaskan kemanusiaan sehingga tidak layak menerapkan asas- asas marketing dalam pengelolaan pelayanan kesehatan, padahal biaya operasional RS yang besar jika tidak diimbangi income yang besar maka justru akan mengalami kebangkrutan,bahkan sempat muncul persepsi negatif di masyarakat bahwa salah satu strategi pemasaran RS adalah promosi, Promosi RS dikonotasikan dengan membujuk serta mengarahkan seseorang agar mengunjungi RS tertentu. padahal seperti yang kita ketahui bahwa promosi merupakan salah satu media yang sangat baik, bahkan beberapa RS juga mulai menerapkan kegiatan-kegiatan kehumasan (public relations) .Saat ini, RS tidak bisa lagi dipandang hanya sebagai institusi sosial belaka, tetapi sudah menjadi institusi yang bersifat sosio ekonomis.Dengan paradigma baru ini, kaidah-kadiah bisnis juga berlaku bagi “industri” RS, tanpa harus meninggalkan jati diri RS sebagai institusi sosial yang sarat dengan norma, moral, dan etika.Saat ini, di Indonesia belum ada pedoman pengiklanan yang jelas bagi RS sementara kebutuhan akan pedoman pengiklanan tersebut sangat diperlukan agar RS-RS di Indonesia mampu bersaing dengan pelayanan RS luar negeri. Oleh karena itu, sudah saatnya RS di Indonesia berpromosi agar masyarakat kita mendapatkan informasi yang cukup mengenai jenis pelayanan maupun fasilitas yang ada di sebuah RS.RS sebagai penyedia pelayanan kesehatan membutuhkan media promosi untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun pelayanan RS merupakan jenis pelayanan yang unik dan berbeda bila dibandingkan dengan bidang jasa pelayanan yang lainnya. Pedoman etik yang jelas sangat diperlukan dalam melakukan promosi bagi RS sehingga pedoman etik yang dibuat dapat menjadi acuan bagi RS dalam melakukan promosi. Saat ini, di Indonesia belum ada pedoman promosi yang jelas bagi RS, sementara kebutuhan akan pedoman promosi tersebut sangat diperlukan agar RS-RS di Indonesia mampu bersaing dengan pelayanan RS luar negeri.beberapa pakar memasarkan mengajarkan cara - cara memasarkan bisnis dengan metode dan strategi yang berbeda - beda.sehingga lebih memuaskan jika anda mendengarkan apa pendapat para pakar marketing tersebut melalui seminar maupun melalui buku - buku mereka.

http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/1805317-pemasaran-pelayanan-kesehatan/

Promosi Rumah Sakit

Oleh
Andrew Jackson Yang

Di Indonesia sampai saat ini promosi rumah sakit masih dianggap hal yang tabu, karena kata “promosi” berkonotasi membujuk serta mengarahkan seseorang agar mengunjungi rumah sakit tertentu.
Promosi jika disampaikan dengan jujur dan mendidik akan bermakna positif. Promosi merupakan salah satu wadah yang efektif untuk menginformasikan adanya layanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Ketika rumah sakit di Indonesia masih ragu dan takut berpromosi, rumah sakit di negara lain justru gencar menjadikan Indonesia sebagai ajang promosi. Mereka bukan hanya memasang iklian, tetapi juga melakukan berbagai kegiatan public relations untuk menarik masyarakat Indonesia agar mau menjadi konsumen mereka. Tak heran, arus berobat ke luar negeri semakin tinggi.
Berubahnya nilai-nilai secara global dan masuknya Indonesia ke dalam persaingan pasar bebas, mengharuskan kita mengubah paradigma tentang rumah sakit. Perlu kita pahami, rumah sakit tidak bisa lagi dipandang hanya sebagai institusi sosial belaka, melainkan sudah menjadi institusi yang bersifat sosio-ekonomis.
Dengan paradigma baru ini, kaidah-kaidah bisnis juga berlaku bagi industri rumah sakit tanpa harus meninggalkan jatidirinya sebagai institusi sosial yang sarat dengan norma, moral, dan etika.
Dalam berpromosi, rumah sakit memerlukan pedoman etika tersendiri, karena jenis pelayanan yang diberikan rumah sakit bersifat unik dan sangat berbeda dengan bidang jasa pelayanan lainnya. Satu pedoman yang bersifat self regulating menjadi perlu disusun.
Lewat pedoman ini, Komunitas rumah sakit dapat mengatur dirinya sendiri dan kepentingan rumah sakit untuk melakukan promosi dapat terlindungi. Masyarakat juga akan terlindungi dari promosi yang menyesatkan.

Mengacu Etika Rumah Sakit
Promosi rumah sakit adalah salah satu bentuk pemasaran rumah sakit dengan cara penyebarluasan informasi tentang jasa pelayanan serta kondisi rumah sakit itu sendiri secara jujur, mendidik, informatif, dan dapat membuat seseorang memahami tentang pelayanan kesehatan yang akan didapatkannya.
Dasar hukumnya adalah Undang-Undang nomor 88 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perundang-undangan RI yang mengacu kepada Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (yang disempurnakan, 19 Agustus 1996). KODERSI 2001, Bab VI Pasal 23. Keputusan Rapat kerja Nasional Majelis Etika Rumah Sakit Indonesia (MAKERSI) tanggal 23 Juli 2005.
Azas Umum Promosi antara lain harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Promosi tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat negara, agama, tata susila, adat, budaya, suku dan golongan.
Promosi harus dijiwai dengan nada persaingan yang sehat. Promosi yang dilakukan harus tetap memiliki tanggung jawab sosial.
Layanan yang ditawarkan harus profesional dan bermutu. Setiap institusi/pelaku layanan kesehatan harus selalu mengacu kepada etika rumah sakit, serta bekerja sesuai pedoman dan standar layanan yang ada. Tarif layanan yang ditawarkan wajar dan dapat dipertanggungjawabkan serta memperhatikan ketentuan yang ada. Layanan yang ditawarkan harus merata dan ditujukan kepada seluruh anggota masyarakat. Layanan yang ditawarkan harus mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengguna layanan.
Secara umum, promosi harus bersifat: Informatif, edukatif, preskriptif (pemberian petunjuk-petunjuk kepada khalayak ramai umumnya dan pasien khususnya tentang peran pencari pelayanan kesehatan dalam proses diagnosis dan terapi), preparative (membantu pasien/keluarga pasien dalam proses pengambilan keputusan).
Kesemuanya ini harus diberikan secara kongkrit dan berdasarkan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia. Asas Khusus untuk Promosi Rumah Sakit antara lain harus rela tetap mencerminkan jatidiri sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab sosial.
Penampilan tenaga profesi dokter, ahli farmasi, tenaga medis, dan paramedis lain atau atribut-atribut profesinya tidak boleh digunakan untuk mengiklankan jasa pelayanan dan alat-alat kesehatan. Menghargai hak-hak pasien sebagai pelanggan.

Makan Tiga, Bayar Dua
Dalam persaingan ketat, tentu mudah terjadi pelanggaran etika, yaitu pelanggaran asas-asas etika umum atau kaidah-kaidah dasar moral, yaitu asas kewajiban berbuat yang baik, asas kewajiban tidak berbuat yang menimbulkan mudharat, asas menghormati otonomi manusia, asas berlaku adil (justice, fairness).
Banyak di antara kiat promosi secara umum sah-sah saja dilakukan juga oleh rumah sakit. Namun, ada yang menurut sistem nilai kita sebagai profesional kesehatan tidak pantas dilakukan. Misalnya, sah-sah saja jika restoran berpromosi “makan untuk tiga, bayar untuk dua saja”. Tapi, apakah pantas jika rumah sakit berpromosi, “Jika sudah dua anak Anda dirawat di rumah sakit kami, anak ketiga tidak perlu langsung membayar uang muka perawatan”.
Rasanya masih dianggap tidak pantas jika rumah sakit mengirim wakilnya ke rumah-rumah penduduk untuk melakukan personal selling. Kendati sudah lazim jika ada marketer rumah sakit datang ke perusahaan-perusahaan untuk menawarkan produk-produk yang disediakan oleh rumah sakit.
Hal lain lagi yaitu RS luar negeri tidak diperkenankan berpromosi dengan menggunakan pembicara dokter luar negeri tanpa melalui kerja sama dengan IDI, PERSI, DEPKES, instansi terkait. Ini demi melindungi masyarakat. Agensi rumah sakit asing bila ingin berpromosi di Indonesia harus bekerja sama dengan sepengetahuan organisasi profesi dan PERSI. Pembuatan film di sekitar rumah sakit personil rumah sakit tidak terlibat. Nama rumah sakit hanya dicantumkan pada bagian akhir film.
Penyelenggara/Pelaksana Promosi dapat berupa pihak rumah sakit sendiri, perusahaan periklanan, pihak-pihak lain.Pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan dan PERSI MAKERSI secara khusus melakukan pemantauan dalam pelaksaan sehari-hari.
Bila terjadi pelanggaran maka akan diberikan sanksi etik berupa: Teguran lisan maupun tertulis oleh MAKERSI Informasi kepada masyarakat lewat media massa Rekomendasi kepada yang berwenang untuk meninjau kembali izin rumah sakit.
Etika bersifat dinamis dan selalu dapat berubah berdasarkan pengaruh perkembangan nilai-nilai yang ada di masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula etika promosi rumah sakit, tidak tertutup kemungkinan suatu saat akan berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan layanan kesehatan. Oleh karena itu, evaluasi berkala terhadap isi pedoman etika promosi rumah sakit ini sangat diperlukan agar tetap sesuai dengan kebutuhan penyedia dan pengguna jasa pelayanan kesehatan.

Pemikiran Mengenai Manajemen Pemasaran Rumah Sakit

Pemasaran adalah salah satu kegiatan dalam perekonomian yang membantu dalam menciptakan nilai ekonomi. Nilai ekonomi itu sendiri menentukan harga barang dan jasa. Faktor penting dalam menciptakan nilai tersebut adalah produksi, pemasaran dan konsumsi. Pemasaran menjadi penghubung antara kegiatan produksi dan konsumsi.
Menurut Kotler (1997), pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain. Sedangkan rumah sakit sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan merupakan institusi yang penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sekarang ini mayoritas rumah sakit yang ada di Indonesia sudah bergeser ke arah profit oriented, hal ini disebabkan karena masuknya Indonesia ke dalam persaingan pasar bebas yang mengharuskan kita untuk merubah cara pandang terhadap rumah sakit. Saat ini tidak memungkinkan lagi jika rumah sakit hanya dipandang sebagai institusi sosial.  Dengan berjalannya waktu rumah sakit telah menjadi institusi yang bersifat sosio-ekonomis. Selain itu,  kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dimana investor baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri diberi kesempatan untuk menanamkan modalnya dalam bidang perumahsakitan, semakin memudahkan pergeseran tersebut. Sehingga tidak heran sekarang ini banyak dibangun rumah sakit baru yang memiliki pelayanan seperti hotel berbintang, teknologi baru dan canggih, serta dikelola dengan manajemen profesional yang tentunya berorientasi profit.
Semakin banyak dan meratanya rumah sakit di wilayah Indonesia yang merupakan harapan pemerintah merupakan ancaman bagi pihak rumah sakit, karena dengan semakin banyaknya bermunculan rumah sakit yang menawarkan bermacam keunggulan, baik dari segi teknologi, harga maupun pelayanan, maka rumah sakit akan menghadapi persaingan yang semakin kompetitif.
Jumlah rumah sakit yang semakin meningkat membuat setiap rumah sakit saling bersaing untuk mendapatkan pelanggan. Oleh karena itu, pemasaran rumah sakit yang baik akan dapat membantu rumah sakit untuk terus bertahan dalam persaingan dan berkembang menjadi lebih baik. Keluarnya Permenkes No. 80/Menkes/Per/II/90 yang menyatakan bahwa badan hukum termasuk perorangan diperkenankan memiliki dan mengelola rumah sakit dengan sifat profit oriented, membuat rumah sakit sadar untuk menerapkan manajemen pemasaran untuk bisa mempertahankan eksistensinya. Sehingga tidak mengherankan jika keadaan ini memaksa pihak rumah sakit, baik rumah sakit swasta maupun rumah sakit pemerintah untuk menerapkan manajemen pemasaran yang modern, dengan melaksanakan proses pemasaran yang baik, termasuk promosi yang termasuk kedalam bauran pemasaran. Artinya, rumah sakit akan melakukan berbagai upaya promosi dalam rangka menarik minat konsumen sebanyak-banyaknya.
Manajemen Pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan individu dan organisasi (Kotler, 1997).
Jika dibandingkan dengan bidang lain, usaha perumahsakitan memiliki ciri khasnya sendiri, terutama dalam tanggung jawab moral, kemanusiaan dan sosial yang diembannya. Oleh sebab itu, meski banyak yang menjadikan rumah sakit sebagai ladang bisnis, namun rumah sakit tidak bisa begitu saja melepaskan misi sosial dan kemanusiaan, dan hal tersebut menyebabkan cara-cara promosi yang umum, yang dapat diterapkan pada bidang bisnis lain tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan di bidang perumahsakitan.
Promosi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah iklan. Namun bolehkan rumah sakit beriklan? Selama ini pengelola rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta berpedoman dan meyakini bahwa rumah sakit tidak boleh beriklan. Banyak alasan yang dikemukakan, antara lain akan menjadi tidak etis jika rumah sakit mengharapkan kesakitan dari pasien untuk kemudian pasien tersebut datang ke rumah sakit yang mereka kelola.
Kenyataannya rumah sakit tidak memiliki larangan untuk memasang iklan. PERSI tidak melarang rumah sakit melakukan promosi berupa iklan asalkan iklan tersebut bersifat informatif, tidak komparatif, berpijak pada dasar yang nyata, tidak berlebihan, dan berdasarkan kode etik rumah sakit Indonesia. Karena pada dasarnya kegiatan promosi dilaksanakan untuk menjaga komunikasi antara pihak rumah sakit dengan masyarakat luas.
Namun, ketika rumah sakit memutuskan untuk beriklan, rumah sakit harus benar-benar siap. Jika tidak, mereka akan berhadapan dengan undang-undang perlindungan konsumen. Seperti yang dialami oleh RS Siloam Gleneagles, Lippo Karawaci yang pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan saat mereka berusaha melakukan promosi di media massa. Saat pembukaan, RS Siloam berupaya untuk menarik minat pelanggan dengan memasang iklan pemberitahuan dan informasi sebanyak setengah halaman di salah satu media cetak, pada iklan tersebut dicantumkan mengenai fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang dimiliki oleh rumah sakit tersebut. Tetapi ternyata iklan tersebut mendapat sambutan yang tidak menyenangkan dari anggota DPR karena dinilai tidak etis. Dengan adanya kejadian ini, rumah sakit lainnya pun menjadi berpikir dua kali untuk mengiklankan rumah sakit mereka karena takut akan menjadi masalah dengan anggota dewan.
Kejadian ini akan menjadi sangat ironis ketika rumah sakit di Indonesia masih ragu dan takut berpromosi, rumah sakit di negara lain justru gencar menjadikan Indonesia sebagai lahan promosi. Mereka bukan hanya memasang iklian, tetapi juga melakukan berbagai kegiatan kehumasan (public relations) untuk menarik minat masyarakat Indonesia agar mau menjadi konsumen mereka. Contohnya saja rumah sakit negara S dan M, iklan mengenai rumah sakit di kedua negara tersebut banyak diterbitkan di Indonesia, mereka tidak lagi memandang etis atau tidaknya sebuah iklan mengenai rumah sakit dimuat, bahkan ada yang menawarkan paket kesehatan sambil tur dengan biaya yang murah. Sedangkan rumah sakit kita sendiri, dengan niat yang baik untuk menginformasikan saja pada masyarakat bahwa ada rumah sakit baru yang dibangun melalui iklan ditegur dengan keras. Sehingga tidak heran, semakin banyak masyarakat Indonesia yang pergi berobat ke luar negeri karena mereka beranggapan rumah sakit di sana lebih baik daripada di negeri sendiri.
Akibat iklan yang dianggap tidak etis ini, ada pihak rumah sakit tertentu yang mengajukan protes pada pihak PERSI, dan segera ditanggapi oleh pihak PERSI dengan menemui penanggungjawab media cetak tersebut, dan pihak yang bersangkutan berjanji tidak akan mnerbitkan iklan tersebut lagi.
Tapi tetap saja, ada pihak-pihak rumah sakit yang merasa dianaktirikan oleh pemerintahnya sendiri. Jadi, akan sangat bijak jika pemerintah mulai memikirkan dengan jelas aturan yang akan menjadi panduan bagi pihak rumah sakit mengenai apa saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan rumah sakit dalam beriklan. Selain itu pemerintah juga harus memberikan dukungan dalam bentuk penurunan pajak dan informasi kesehatan lainnya. Hal ini akan sangat berguna jika dilakukan, karena rumah sakit Indonesia akan memiliki dukungan dari pemerintahnya sendiri dalam rangka bersaing dengan rumah sakit luar negeri yang sangat gencar dalam melakukan upaya promosi di negeri ini.